WACANA DAN
PENGAJARANNYA DALAM KETERAMPILAN MENYIMAK DAN MEMBACA
1.
Wacana
Tompkins (dalam Rofi’Udin, 1998:3) menyatakan bahwa
keberwacanaan adalah kemampuan menggunakan membaca dan menulis dalam menuaikan
tugas-tugas yang bertalian dengan dunia kerja dan kehidupan luar sekolah. Bentuk bahasa yang disebut wacana telah
lama selidiki secara intensif oleh ahli-ahli bahasa (Linguist). Berbagai cara yang telah di kembangkan untuk melihat
satuan bahasa ini secara lebih cermat. Senada
dengan pendapat tersebut, Arini,dkk
(dalam Weaver, 1961:26-147) berpendapat bahwa sebuah wacana dalam bentuk artikel dapat
pula tersusun dari kombinasi-kombinasi paragraf bersifat deskritif dan naratif,
argumentatif dan naratif, ekspositif dan deskritif dan sebagainya. Karena itu, paragraf di masukkan dalam studi
wacana. Empat wacana yang telah dikenal secara umum dengan nama ekposisi,
dekripsi, narasi dan argumentasi keempat bentuk pengungkapan wacana ini dapat
diketahui dan ciri-cirinya. Misalnya:
1. Argumentasi
Cirinya:
a. Mengundang
alasan
b. Bertujuan
meyakinkan
c. Mengubah
pandangan
2. Deskripsi
Cirinya:
a. Bersifat
memerikan
b. Melukiskan
sesuatu sebagaimana adanya
c. Menghindarkan
penafsiran atau komentar pribadi.
3. Ekposisi
Cirinya:
a. Bersifat
paparan
b. Menuntun
Pembaca
c. Mengungkap
cara atau Prosedur
4. Narasi
Cirinya:
a. Mengungkapkan
apa yang terjadi
b. Bersifat
faktual atau fiksi
c. Menggunakan
gaya cerita
2.
Wacana
dalam Komunikasi
Bila dikaitkan dengan dengan jalur komunikasi (chanel of
communication), wacana dapat dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis.
Selain itu, jika dikaitkan dengan pemeran serta (participants), wacana dapat
dibedakan atas wacana presentasional dan wacana interaksional. Wacana
presentasional juga disebut wacana infomasional, dan interaksional sering
disebut wacana interpersonal. Bentuk wacana Presentasional, misalnya: ceramah,
pidato, khotbah, dan bentuk-bentuk penyajian sepihak lainnya. Sementara itu
wacana interaksional bisa dalam bisa dalam bentuk wawancara, dialog,
percakapan, diskusi, debat, dan bentuk-bentuk konversasi lainnya.
3.
Metodik
Khusus Pengajaran Bahasa (Wacana) di SD
Sebelum melaksanaan pembelajaran, seorang guru harus memahami
kriteria metode/teknik yang akan diterapkan. Namun demikian metode/teknik yang
diterapkan itu harus disesuaikan dengan materi dan kemampuan siswa.
Tarigan
(dalam Garminah, 2009:65) menyatakan bahwa metode pembelajaran berbicara yang
baik memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:
(1) Rerevan
dengan tujuan pengajaran
(2) Mempermudah
pemahaman siswa
(3) Merangsang
kreatifitas dan keterampilan siswa
(4) Mudah
diataptasi dengan media
(5) Mewujudkan pengalaman belajar
Arini,dkk (dalam Djago Tarigan, 1995)
menyatakan bahwa khusus untuk pembelajaran menyimak dan membaca dengan
menggunakan wacana sebagai pintu masuk pembelajaran bahasa.
3.1 Pengajaran
Keterampilan Menyimak
1.
Simak-Ulang Ucap
Simak-ulang ucap
ini dapat digunakan oleh guru untuk siswa melafalkan bagian-bagian tertentu
dalam pembelajaran bahasa.
2.
Simak-Kerjaan
Siswa diminta
untuk melakukan sesuatu tentang apa yang diinginkan/diminta oleh gurunya dan
menyampaikan untaian perintah atau suruhan yang harus dikerjakan oleh siswa.
3.
Simak-Terka
Guru
mendeskripsikan atau menggambarkan
sifat, keadaan, perilaku, bentuk dari sesuatu yang disampaikan secara lisan
atau tulis untuk disimak.
4.
Simak-Tulis
Simak-tulis
dikenal dengan nama dikte atau imla yang diarahkan untuk melatih siswa terampil
dalam menulis dan kemampuan siswa dalam menulis huruf, kata, kalimat, tanda
baca, dan aspek-aspek mekanik lainnya yang menjadi perhatian dalam keterampilan
ini.
5.
Bisik Berantai
Bisik berantai
adalah suatu cara menyampaikan pesan atau informasi secara berantai. Penerima
pesan awal menyampaikan lebih lanjut pesan atau informasi itu kepada orang
ketiga. Kesesuaian pesan yang disampaikan oleh penerima pertama dan penerima terakhir,
mencerminkan ketelitian dan perhatian siswa dalam menyimak.
6.
Memperluas Kalimat
Cara ini
digunakan oleh guru dalam melatih siswa menulis sebuah wacana ringkas yang
dimulai dengan menyediakan kalimat pendek kepada siswa untuk dikembangkan
menjadi kalimat lebih panjang dengan menambah objek dan keterangan, serta
menambah penjelasan pada bagian-bagian kalimat yang perlu untuk dijelaskan.
7.
Menyelesaikan Cerita
Guru memulai
dengan cerita bagian/penggalan awal. Kemudian siswa diminta untuk melanjutkan.
Siswa diberi kebebasan mengembangkan cerita itu menurut imajinasi dan
kreasinya.
8.
Identifikasi Kata Kunci
Cara ini melatih
siswa untuk menemukan pokok persoalan yang dibicarakan. Cara ini merupakan
kebalikan dari cara yang keenam, yakni memperluas kalimat.
9.
Idenfikasi Kalimat Topik
Pada cara ini,
siswa disugihi sebuah wacana yang harus diidentifikasi kalimat topiknya. Selain
itu, wacana bisa dalam bentuk wacana dialog (interaksional) atau wacana monolog
(presentasional)
10. Menjawab Pertanyaan
Cara ini dimulai
dengan memberitahukan pertanyaannya terlebih dahulu, misalnya: Apa yang
dibicarakan? Siapa yang membicarakan? dan lain-lain. Setelah itu, siswa diminta
menyimak sebuah wacana. Siswa akan mengkonsentrasikan perhatiannya pada hal-hal
untuk menjawab pertanyaan tersebut.
11. Merangkum
Pada cara ini,
siswa dapat disugihi wacana yang agak panjang, baik dalam bentuk tulis maupun
lisan. Siswa diminta menyatakan isi-isi pokok dari wacana yang dibaca atau
didengar. Siswa dapat menggunakan kalimatnya sendiri dalam membuat rangkuman.
12. Parafrase
Parafrase artinya
alih bentuk. Hal ini dapat dilakukan, yakni mempuisikan sebuah prosa. Namun hal
ini lebih sulit dilakukan siswa, karena puisi memerlukan kata-kata yang lebih
indah.
13. Teknik Satu Rekaman Satu Kelas
Jatiyasa (2012) menyatakan
bahwa guru terlebih
dahulu menyiapkan rekaman melalui kaset (tape recorder), CD, ataupun
laptop yang berisi ceramah, pembacaan puisi, dan sebagainya. Kemudian guru memberi petunjuk-petunjuk sebelum kaset di
putar tentang hal-hal yang perlu disimak.
14. Teknik Group Cloze
Jatiyasa (2012) menyatakan bahwa
guru membacakan sebuah wacana
sekali, siswa diminta menyimak baik-baik. Kemudian, guru membacakan wacana dengan cara membaca paragraf awal penuh.
15. Teknik Simak Libat Cakap
Jatiyasa (2012) menyatakan bahwa
penyimak terlibat dalam pembicaraan.
Dalam pelaksanaan teknik ini guru dapat menugaskan siswa mengadakan wawancara.
3.2 Pengajaran
Keterampilan Mambaca
Ada sejumlah
metode membaca permulaan yang dapat dipilih dan dikembangkan oleh guru, antara
lain:
(1) Metode
Abjad
Dalam metode
abjad, satuan huruf yang berupa bunyi bahasa dilafalkan sesuai dengan abjad.
Contoh: [b] dilafalkan /be/
[k] dilafalkan
/ka/
Langkah-langkah
penerapan metode abjad yaitu:
1) Mengenalkan/membaca
beberapa huruf
2) Merangkai
huruf menjadi suku kata atau penggalan kata
3) Merangkai
suku kata menjadi kata
(2) Metode
Bunyi
Perbedaan metode bunyi dengan metode abjad
adalah pada pelafalannya, karena pada metode bunyi satuan huruf yang dilafalkan
sesuai dengan bunyinya.
Contoh: [b] dilafalkan /eb/
[d]
dilafalkan /ed/
Sedangkan
langkah-langkah penerapan metode bunyi sama dengan langkah-langkah penerapan
metode abjad.
(3)
Metode Kupas Rangkai Suku Kata
Metode ini
memulai pembelajaran membaca dengan menyajikan kata-kata yang sudah dikupas
menjadi suku kata. Suku kata tersebut dirangkai menjadi huruf dan dirangkai
lagi menjadi suku kata dan kata.
Contoh: bo la
menjadi b o l a
b
o l a menjadi bo la
(4) Metode Kata lembaga
Metode ini
diawali dari mengenalkan beberapa kata yang dikenal dan ditemukan di lingkungan
siswa.
Contoh: mina dirangkai menjadi mi na
mi na
dirangkai menjadi m i n a
(5)
Metode i in dan a an
Metode ini cukup
produktif dan kreatif karena dengan mengenal beberapa huruf saja siswa dapat
menentukan kata-kata baru malah bisa sampai membuat kalimat baru.
Contoh: i
in
i i
i i
n n
n n
i
in, a an
a na na
na na an
a ni na
ni ni in
na
a ni na na an
(6)
Metode Global
Metode global muncul akibat pengaruh psikologi
gestalt, yang menganggap satu kesatuan lebih bermakna dibandingkan dengan
jumlah bagian-bagiannya.
Langkah-langkah pembelajaran yang ditempuh sebagai
berikut:
a) Membaca
kalimat secara utuh dengan disertai gambar.
b) Apabila
siswa sudah lafal, dilanjutkan dengan membaca kalimat tanpa bantuan gambar.
c) Menguraikan
kalimat menjadi kata.
d) Menguraikan
kata menjadi suku kata.
e) Menguraika
suku kata menjadi huruf.
f) Merangkai
huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat.
(7) Metode Struktur Analitik
Sinstentik (SAS)
Metode ini didasari oleh tanggapan unsur bahasa terkecil
bermakna adalah kalimat. Potensi dan pengalaman berbahasa siswa perlu
dikembangan melalui struktur kalimat yang utuh, sehingga dapat dipahami dan
dianalisis.
Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:
a) Membaca
tanpa buku bersumber pada percakapan siswa.
b) Menampilkan gambar sambil bercerita.
c) Menampilkan gambar sambil mengucapkan kalimat.
d) Menampilkan kartu kalimat yang dianalisis.
e) Membaca kalimat dan melakukan proses struktur,
analitik, sintetik.
Arini,dkk (2007:164-167) menyatakan bahwa kemampuan
membaca siswa dapat dikembangkan dengan menggunakan metode atau cara-cara,
seperti: lihat dan baca, melengkapi kalimat, menyusun paragraf, menceritakan
kembali, parafrase, melanjutkan cerita, melaksanakan petunjuk, baca dan terka.
1. Lihat
dan Baca
Guru menyiapkan
sebuah wacana untuk dibaca oleh siswa. Dalam membaca, siswa dapat dilatih
kemampuannya mengucapkan fonem, kata, tanda baca, kalimat secara tepat. Siswa
bisa pula disuruh menambahkan kata atau menghilangkan kata yang berlebihan.
2. Melengkapi
Kalimat
Guru menyiapkan
sebuah wacana yang harus dibaca oleh siswa. Selanjutnya, guru menyiapkan
kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Siswa diminta melengkapi kalimat itu.
3. Manyusun
Paragraf
Cara ini bisa
dimulai dengan menyuguhkan sebuah wacana kepada siswa, yang beberapa katanya
hilang. Siswa diminta mengisi kata-kata yang dihilangkan itu. Jika siswa paham
tentang isi wacana yang dibaca itu, maka ia akan dapat mengisi kata-kata yang
dihilangkan tersebut
4. Menceritakan
Kembali
Seorang siswa
dikatakan memahami apa yang dibacanya apabila ia dapat menceritakan kembali isi
ringkas tentang apa yang dibaca.
5. Parafrase
Dengan membaca
sebuah wacana, misalnya wacana dalam bentuk puisi, siswa diminta mengungkapkan
isi puisi tersebut dalam bentuk uraian atau prosa.
6. Melanjutkan
Cerita
Guru menyiapkan
sebuah cerita yang cocok dengan jenjang kelas siswa. Dalam hal ini, guru dapat
menyiapkan penggalan awal dari cerita untuk dilanjutkan oleh siswa.
7. Melaksanakan
Petunjuk
Membaca dan
melaksanakan petunjuk dapat dibina melalui pengajaran bahasa. Kebanyakan
petunjuk disajikan dalam bentuk wacana tertulis. Misalnya mengerjakan
ssoal-soal ujia ada petunjuknya.
8. Baca
dan Terka
Sering sebuah
informasi tidak disampaikan secara eksplit dalam wacana, penulis hanya
menggambar sesuatu secara verbal tanpa menyebut nama bendanya, atau tidak
mengungkapkan secara jelas bagaimana
peristiwa, keadaan, serta
kejadiannya. Sehingga dalam pemilihan dan pengorganisasian materi guru harus
mempertimbangkan hal-hal berikut:
1) Pengetahuan
dan keterampilan berbahasa yang diajarkan kepada siswa dapat bermanfaat dalam
berkomunikasi siswa sehari-hari.
2) Kebutuhan
berbahasa nyata siswa harus menjadi prioritas utama dan bahan-bahan pelajaran
harus bersifat autentik.
3) Siswa
diharapkan mampu menangkap ide/gagasan dalam bahasa.
4) Kelas
diharapkan menjadi pemakai bahasa yang produktif, kurangi dominasi guru.
5) Tugas-tugas
dalam pembelajaran bahasa harus dilaksanakan secara bervariasi, baik dalam
materi maupun kegiatan.
6) Gunakan
penilaian yang autentik, yakni penilaian yang beragam.
7) Sesuakan
materi pelajaran dengan umur, lingkungan, kebutuhan, tingkat kesulitan bahasa,
jenjang kelas siswa, dan lain-lannya.
8) Arahkan
pengorganisasian materi pelajaran untuk mendukung pembelajaran bahasa terpadu.
DAFTAR RUJUKAN
Arini, Ni Wayan.; dkk. 2007. Pendidikan Bahasa Indonesia 1.
Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Garminah, Ni Nyoman.
2009. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa
Indonesia. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Jatiyasa,
I Wayan. 2012. Pengajaran Keterampilan Menyimak di Sekolah Dasar. Tersedia pada (http://iwayanjatiyasatumingal.blogspot.com/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html). Diakses tanggal 5 Oktober 2013.
Rofi’uddin dan
Darmiyati. 1998. Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta: Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar