Minggu, 16 Maret 2014

PERKULIAHAN PENDIDIKAN SENI RUPA PADA PERTEMUAN KE-4



TUGAS 3
RESUME
MENIRU KOMIK MENJARING INSPIRASI



 
Dosen Pengampu
Drs. Jajang Suryana, M.Sn.

Mata Kuliah
Pendidikan Seni Rupa


Oleh
Luh Sandiyani
NIM 1111031180


Kelas E
Semester VI



JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2014





MENIRU KOMIK MENJARING INSPIRASI
Oleh 
Drs. Jajang Suryana, M.Sn.
Di Resume Oleh
Luh Sandiyani


Kegiatan meniru selalu dituding sebagai perbuatan tidak terpuji. Pengubahan karya seni telah lama diukur dengan nilai kebaruan, keaslian, dan kelainan nilai yang diusung tinggi-tinggi oleh para kaum modernis. Fitrah manusia adalah meniru. Banyak seniman tradisi yang lahir dan dibesarkan melalui kegiatan copy the master. Plagiat adalah istilah buruk yang ditudingkan kepada para peniru. Seseorang yang merasa diringya sebagai “seniman” biasanya orang-orang kota akan merasa sangat sakit hati jika diberi sebutan sebagai plagiator, peniru, pengopi, penjiplak, atau orang yang lebih gawat pembajak. Sekalipun tidak bisa disangkal, sejak awal kelahirannya, manusia adalah peniru ulung. Kebiasaan meniru berawal dari masa kanak-kanak. Setiap manusia dibekali kemampuan menyesuaikan diri. Salah satu bentuk penyesuaian itu diupayakan dalam kegiatan peniruan.
1.        Menyikapi Gunung-Kembar
Konon, sejak tahun 40-an, masyarakat sekolah di Indonesia telah mengenal gambar dengan format: gunung, jalan, laut atau sawah, dan pepohonan. Popo Iskandar sempat mengangkat permasalahan format gambar “gunung-kembar” itu dalam diskusi pendidikan seni rupa di Galeri Decenta, Bandung, 29 Agustus 1984. Popo berbicara bersama Adjat Sakri, waktu itu sebagai dosen senior di FSRD ITB, keduanya mempermasalahkan kegamangan pola pendidikan seni rupa Indonesia, terutama di tingkat dasar dan menengah. Mereka merasa heran dengan keberadaan format gambar “gunung-kembar” yang biasa muncul pada gambar buatan anak-anak Indonesia. Bahkan lebih jauh, pola itu bisa masuk juga ke dalam dunia gambar anak-anak luar biasa bagian C, anak tunagrahita atau anak-anak cacat mental. Menurut simpulan mereka, tampak bahwa pembelajaran seni rupa di sekolah-sekolah umum menunjukkan pola pembelajaran yang hampir sama. Pengaruh guru sangat kuat dalam mengarahkan anak untuk mencontoh pola yang dijejalkan guru sebagai “cara menggambar yang mudah”. Popo Iskandar memperkirakan, “kekuatan memori visual anak Indonesia memang luar biasa”. Lanjutnya: “Tanpa diajar oleh siapapun anak Indonesia mampu menggambar wayang idolanya di luar kepala. Maka juga gambar gunung yang terdapat di mana-mana, dengan mudahnya diserap mereka sebagai salah satu tema”.
Menurut Tisna Sanjaya, dalam batas-batas tertentu, sejumlah anak yang baru memasuki TK masih bertahan dengan pola gambar asli milik mereka. Tetapi, begitu banyak guru dan orang tua yang memakai kacamata orang dewasa dalam memberi komentar dan menilai gambar karya anak-anak. Keindahan dan kewajaran cara pandang orang dewasa sering dijejalkan kepada anak-anak yang sesungguhnya memiliki dunia gambar yang berbeda sangat jauh dengan dunia gambar orang dewasa. Sebagian anak kemudian mulai “sadar” bahwa gambar yang dibuatnya “tidak mirip dengan bentuk-bentuk yang diinginkan orang dewasa”. Penggunaan karet penghapus kerap muncul sebagai gambaran ketidakyakinan atas bentuk-bentuk yang digambarnya. Pada kasus khusus, anak-anak tadi merasa penasaran dan ingin menjajal penggunaan alat baru yang “aneh”, yaitu alat yang bisa menghapus garis-garis atau bentuk-bentuk yang pernah dibuatnya.
2.        Copy the Master
Pola pikir Barat Modern, karya seni bisa lahir berawal dari konsep. Ini yang sering dituntut oleh para penganut paham berkesenian cara pikir bangsa Barat. Untuk berkarya seni, seseorang harus bisa melewati tahap-tahapan "kelas" kemampuan. Untuk belajar melukis, misalnya, seseorang harus belajar secara bertahap: garis dan bentuk, kemudian anatomi, perspektif, warna, komposisi, dan lain sebagainya. Hal yang sangat berbeda dengan konsep Barat Modern adalah pembelajaran yang hidup dalam tradisi-tradisi besar di semua belahan dunia seni rupa, yang sangat erat dengan kegiatan peniruan. Proses peniruan diperlakukan orang sebagai jalan-antara dari tingkat pemula menuju tingkat mahir. Di Cina masa lalu misalnya, seseorang yang ingin menjadi pelukis harus bisa meniru lukisan seorang master. Meniru adalah kemampuan awal yang mendasari semua keterampilan manusia. Jika manusia dibairkan hidup sendiri tanpa manusia lain yang bisa ditirunya, boleh jadi peniruan akan dilakukan juga kepada sesuatu yang ada di dekatnya. Hayalan tentang manusia-manusia yang “terjauh” dari manusia lainnya, dikemas oleh para seniman komik seperti dalam cerita Tarzan, yang kemudian ditiru juga dalam versi lingkungan tertentu lainnya. Perlu dilakukan penelitian, berapa persen keterampilan yang dimiliki manusia yang diperoleh melalui cara meniru. Malahan, sejatinya manusia adalah mahluk yang tak pernah berhenti meniru. Artinya, tidak perlu dipermasalahkan apalagi memastikan bahwa meniru adalah bentuk kegiatan yang “memalukan atau bernilai rendah”. Kelengkapan perangkat pikir yang telah dianugerahkan Allah kepada semua manusia, kemudian akan menjadi perangkat pilih, pilah, pisah, dan rangkum, semua hasil perilaku meniru yang pernah dilakukan oleh manusia. Manusia mampu menetapkan perubahan-perubahan yang bermakna dalam mengolah pengalamannya. Kegiatan meniru adalah salah satu proses pencarian, proses penggubahan, proses pengayaan pengalaman yang penting dalam rangkaian tindakan manusia untuk mengembangkan dirinya.
3.        Mengapa Komik?
Gambar buatan anak-anak sangat menarik untuk dibicarakan. Rhoda Kellog pernah mengumpulkan lebih dari satu juta gambar buatan anak-anak. Simpulan yang dikemukakannya menunjukkan bahwa gambar anak-anak, masyarakat tradisi dalam hal ini yang dijadikan bandingan adalah gambar berupa relief Lalitavistara pada dinding candi Borobudur dan gambar wayang beber Jaka Kembang Kuning dan gambar karya masyarakat primitif, memiliki kesamanaan cara ungkap. Bisa diajukan pertanyaan yang melengkapi tesis keseduniaan: apakah simpulan yang dikemukakan Primadi itu cukup untuk menunjuk tentang adanya kategori keseduniaan yang lain?      
Daya tarik gaya gambar anak-anak masa kini terletak pada penampakan pengaruh arus besar cerita komik, baik pengaruh gaya Walt Disney, Warner Bros, dan terutama pengaruh dari bah cerita Jepang. Pengemasan yang apik dan menarik cerita komik Jepang yang dibarengi dengan tayangan di televisi maupun VCD lepasan yang gampang dibeli atau disewa oleh masyarakat, telah menjadi jalan “bebas hambatan” bagi banyak anak untuk berkenalan dan menyukainya. Sebagai “buku sumber”, posisi komik menjadi menarik. Hal yang kerap dikedepankan oleh sejumlah pembahas teori seni rupa adalah mempertanyakan posisi komik di antara karya-karya seni rupa lainnya. Membahas komik, dalam tulisan ini, tidaklah menyimpang, karena komik telah menjadi sumber inspirasi yang dimasukkan ke dalam banyak gambar buatan anak-anak. Pada bagian tulisan ini, selintas perlu dikaji juga permasalahan komik untuk melengkapi penyikapan kita ketika membahas gambar karya anak-anak yang telah banyak dipengaruhi oleh cerita dan gaya gambar dalam komik.
 Komik termasuk karya gabungan. Beberapa kegiatan seni bisa muncul di sana. Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya (seni gambar, seni ilustrasi, dan seni grafis), dipadu dengan unsur seni sastra. Tetapi banyak kalangan teoretisi seni rupa maupun sastra enggan memasukkan komik ke dalam kategori seni utama. Dalam teori seni rupa Barat ada pemilahan kelompok seni rupa dalam dua bentuk: seni murni (terjemah dari pure art), sering juga disebut dalam kelompok seni utama (major art), dan seni terap (applied art) atau yang digolongkan sebagai seni remeh (minor art). Kategori seni remeh, menurut teoretisi seni rupa Barat, banyak sekali, yaitu jenis kegiatan seni rupa di luar kelompok seni murni, seni utama. Myers menulis sebagai berikut: “minor or applied art: furniture, textiles, ceramics, etc”, tanpa terlalu banyak memberi kupasan. Pengabaian bahasan tadi, tampak juga dalam sejumlah buku lain yang telah menjadi buku acuan utama teori seni rupa Indonesia. Oleh karena itu, sulit sekali untuk menemukan buku yang isinya merupakan bahasan mendalam tentang seni-seni terapan ini, yang digandengakan dengan bahasan seni murni. Komik, sebagai kelompok seni remeh, berada pada posisi tersebut, pemosisian yang kurang memperhitungkan keberadaannya.
4.        Komik dan Gambar Buatan Anak-anak
Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek secara mirip. Dalam beberapa hasil observasi di lapangan, anak usia 5-9 tahun, suka meniru gambar dalam buku bacaan, gambar buatan temannya, atau juga gambar tokoh-tokoh cerita yang sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawaan khusus, pada usia 2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita yang sangat disukainya. Kesenangan meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar. Sejumlah anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya. Irama perkembangan masing-masing anak tidak ada yang sama persis. Semua anak memiliki jalur perkembangan motorik yang berbeda. 
Sekalipun kesukaan akan gambar pada kebanyakan anak bisa dikatakan seragam pada usia yang sama, namun karena keragaman irama perkembangan tadi menyebabkan perbedaan-perbadaan intensitas perhatian anak terhadap kegiatan menggambar. Meniru ternyata bukan hal yang membahayakan kegiatan anak dalam menggambar. Alasan ‘pengagungan’ nilai kreativitas seringkali dipakai oleh para guru, teoretisi pendidikan seni  rupa, atau para pembina sanggar. Meniru adalah “perbuatan yang tidak kreatif”, itu tesis awal yang kerap diusung oleh para ahli pendidikan seni rupa, lebih khusus mereka yang lebih dalam mengenal psikologi. Hal itu bersumber dari paham kaum modernis yang mengutamakan nilai kebaruan. Kemudia muncul tesis pengganti yang berisi pernyataan bahwa “kreativitas adalah kemampuan mengorganisasi aneka pengalaman termasuk pengalaman dari hasil meniru menjadi bentuk yang baru”. Isi pernyataan tadi, tampaknya, dipengaruhi perilaku para teknokrat Jepang yang gemar menggubah sesuatu berdasarkan sumber acuan campuran, yang karya-karyanya berupa benda-benda elektronika dan kendaraan telah merajai dunia. Hal itu, kini telah menjadi sesuatu yang dianggap lumrah, bahkan dianggap main trend.
Anak-anak secara normal, mengikuti pola peniruan itu tanpa beban. Pola peniruan bisa beragam bentuk. Ada peniruan dengan mengandalkan pola ingatan. Ada juga pola peniruan dengan menggunakan ‘sumber acuan’ yang visual, tak perlu diendapkan dahulu di dalam ingatan. Bahan tiruan bisa berubah setiap masa, bergantung kepada sesuatu yang menjadi sumber inspirasi mereka. Ketika cerita tradisi seperti wayang masih menguasai bahan cerita yang disukai oleh anak-anak, tokoh-tokoh cerita itulah yang menjadi sumber acuan. Anak-anak bisa melihat gambaran tokoh wayang dari bentuk visual pertunjukan wayang kulit, wayang golek, atau pun wayang orang. Pada kondisi selanjutnya, ketika buku bacaan mulai banyak dikenal oleh anak-anak, gambar-gambar yang ada pada buku itulah yang menjadi salah satu sumber acuan.


Sekian resume meniru komik menjaring inspirasi yang sudah saya buat, semoga resume ini dapat menjadi inspirasi untuk semua orang sehingga membantu dalam berimajinasi yang seluas-luasnya. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar