TUGAS 3
RESUME
MENIRU KOMIK MENJARING
INSPIRASI
Dosen
Pengampu
Drs.
Jajang Suryana, M.Sn.
Mata
Kuliah
Pendidikan Seni Rupa
Oleh
Luh
Sandiyani
NIM
1111031180
Kelas
E
Semester
VI
JURUSAN PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN
GANESHA
2014
MENIRU KOMIK MENJARING
INSPIRASI
Oleh
Drs. Jajang Suryana, M.Sn.
Di Resume Oleh
Luh Sandiyani
Kegiatan meniru selalu dituding sebagai perbuatan
tidak terpuji. Pengubahan karya seni telah lama diukur dengan nilai kebaruan,
keaslian, dan kelainan nilai yang diusung tinggi-tinggi oleh para kaum
modernis. Fitrah manusia adalah meniru. Banyak seniman tradisi yang lahir dan
dibesarkan melalui kegiatan copy the
master. Plagiat adalah istilah buruk yang ditudingkan kepada para peniru.
Seseorang yang merasa diringya sebagai “seniman” biasanya orang-orang kota akan
merasa sangat sakit hati jika diberi sebutan sebagai plagiator, peniru,
pengopi, penjiplak, atau orang yang lebih gawat pembajak. Sekalipun tidak bisa
disangkal, sejak awal kelahirannya, manusia adalah peniru ulung. Kebiasaan
meniru berawal dari masa kanak-kanak. Setiap manusia dibekali kemampuan
menyesuaikan diri. Salah satu bentuk penyesuaian itu diupayakan dalam kegiatan
peniruan.
1.
Menyikapi
Gunung-Kembar
Konon, sejak tahun 40-an, masyarakat sekolah di Indonesia
telah mengenal gambar dengan format: gunung, jalan, laut atau sawah, dan
pepohonan. Popo Iskandar sempat mengangkat permasalahan format gambar
“gunung-kembar” itu dalam diskusi pendidikan seni rupa di Galeri Decenta, Bandung, 29 Agustus
1984. Popo berbicara bersama Adjat Sakri, waktu itu sebagai dosen senior di
FSRD ITB, keduanya mempermasalahkan kegamangan pola pendidikan seni rupa
Indonesia, terutama di tingkat dasar dan menengah. Mereka merasa heran dengan
keberadaan format gambar “gunung-kembar” yang biasa muncul pada gambar buatan
anak-anak Indonesia. Bahkan lebih jauh, pola itu bisa masuk juga ke dalam dunia
gambar anak-anak luar biasa bagian C, anak tunagrahita atau anak-anak cacat
mental. Menurut simpulan mereka, tampak bahwa pembelajaran seni rupa di
sekolah-sekolah umum menunjukkan pola pembelajaran yang hampir sama. Pengaruh
guru sangat kuat dalam mengarahkan anak untuk mencontoh pola yang dijejalkan
guru sebagai “cara menggambar yang mudah”. Popo Iskandar memperkirakan,
“kekuatan memori visual anak Indonesia memang luar biasa”. Lanjutnya: “Tanpa
diajar oleh siapapun anak Indonesia mampu menggambar wayang idolanya di luar
kepala. Maka juga gambar gunung yang terdapat di mana-mana, dengan mudahnya
diserap mereka sebagai salah satu tema”.
Menurut Tisna Sanjaya, dalam batas-batas tertentu,
sejumlah anak yang baru memasuki TK masih bertahan dengan pola gambar asli
milik mereka. Tetapi, begitu banyak guru dan orang tua yang memakai kacamata
orang dewasa dalam memberi komentar dan menilai gambar karya anak-anak.
Keindahan dan kewajaran cara pandang orang dewasa sering dijejalkan kepada
anak-anak yang sesungguhnya memiliki dunia gambar yang berbeda sangat jauh
dengan dunia gambar orang dewasa. Sebagian anak kemudian mulai “sadar” bahwa
gambar yang dibuatnya “tidak mirip dengan bentuk-bentuk yang diinginkan orang
dewasa”. Penggunaan karet penghapus kerap muncul sebagai gambaran
ketidakyakinan atas bentuk-bentuk yang digambarnya. Pada kasus khusus,
anak-anak tadi merasa penasaran dan ingin menjajal penggunaan alat baru yang
“aneh”, yaitu alat yang bisa menghapus garis-garis atau bentuk-bentuk yang
pernah dibuatnya.
2.
Copy the Master
Pola pikir Barat Modern, karya seni bisa lahir
berawal dari konsep. Ini yang sering dituntut oleh para penganut paham
berkesenian cara pikir bangsa Barat. Untuk berkarya seni, seseorang harus bisa
melewati tahap-tahapan "kelas" kemampuan. Untuk belajar melukis,
misalnya, seseorang harus belajar secara bertahap: garis dan bentuk, kemudian
anatomi, perspektif, warna, komposisi, dan lain sebagainya. Hal yang sangat
berbeda dengan konsep Barat Modern adalah pembelajaran yang hidup dalam
tradisi-tradisi besar di semua belahan dunia seni rupa, yang sangat erat dengan
kegiatan peniruan. Proses peniruan diperlakukan orang sebagai
jalan-antara dari tingkat pemula menuju tingkat mahir. Di Cina masa lalu
misalnya, seseorang yang ingin menjadi pelukis harus bisa meniru lukisan
seorang master. Meniru adalah
kemampuan awal yang mendasari semua keterampilan manusia. Jika manusia dibairkan
hidup sendiri tanpa manusia lain yang bisa ditirunya, boleh jadi peniruan akan
dilakukan juga kepada sesuatu yang ada di dekatnya. Hayalan tentang
manusia-manusia yang “terjauh” dari manusia lainnya, dikemas oleh para seniman
komik seperti dalam cerita Tarzan, yang kemudian ditiru juga dalam versi
lingkungan tertentu lainnya. Perlu dilakukan penelitian, berapa persen
keterampilan yang dimiliki manusia yang diperoleh melalui cara meniru. Malahan,
sejatinya manusia adalah mahluk yang tak pernah berhenti meniru. Artinya, tidak
perlu dipermasalahkan apalagi memastikan bahwa meniru adalah bentuk kegiatan
yang “memalukan atau bernilai rendah”. Kelengkapan perangkat pikir yang telah
dianugerahkan Allah kepada semua manusia, kemudian akan menjadi perangkat pilih,
pilah, pisah, dan rangkum, semua hasil perilaku meniru yang pernah dilakukan
oleh manusia. Manusia mampu menetapkan perubahan-perubahan yang bermakna dalam
mengolah pengalamannya. Kegiatan meniru adalah salah satu proses pencarian,
proses penggubahan, proses pengayaan pengalaman yang penting dalam rangkaian
tindakan manusia untuk mengembangkan dirinya.
3.
Mengapa
Komik?
Gambar buatan
anak-anak sangat menarik untuk dibicarakan. Rhoda Kellog pernah mengumpulkan
lebih dari satu juta gambar buatan anak-anak. Simpulan yang dikemukakannya
menunjukkan bahwa gambar anak-anak, masyarakat tradisi dalam hal ini yang
dijadikan bandingan adalah gambar berupa relief Lalitavistara pada dinding
candi Borobudur dan gambar wayang beber Jaka Kembang Kuning dan gambar karya
masyarakat primitif, memiliki kesamanaan cara ungkap. Bisa diajukan pertanyaan
yang melengkapi tesis keseduniaan: apakah simpulan yang dikemukakan Primadi itu
cukup untuk menunjuk tentang adanya kategori keseduniaan yang lain?
Daya tarik gaya gambar anak-anak masa kini terletak
pada penampakan pengaruh arus besar cerita komik, baik pengaruh gaya Walt
Disney, Warner Bros, dan terutama pengaruh dari bah cerita Jepang. Pengemasan yang apik dan menarik cerita komik
Jepang yang dibarengi dengan tayangan di televisi maupun VCD lepasan yang
gampang dibeli atau disewa oleh masyarakat, telah menjadi jalan “bebas
hambatan” bagi banyak anak untuk berkenalan dan menyukainya. Sebagai “buku
sumber”, posisi komik menjadi menarik. Hal yang kerap dikedepankan oleh
sejumlah pembahas teori seni rupa adalah mempertanyakan posisi komik di antara
karya-karya seni rupa lainnya. Membahas komik, dalam tulisan ini, tidaklah
menyimpang, karena komik telah menjadi sumber inspirasi yang dimasukkan ke
dalam banyak gambar buatan anak-anak. Pada bagian tulisan ini, selintas perlu
dikaji juga permasalahan komik untuk melengkapi penyikapan kita ketika membahas
gambar karya anak-anak yang telah banyak dipengaruhi oleh cerita dan gaya
gambar dalam komik.
Komik termasuk karya gabungan. Beberapa
kegiatan seni bisa muncul di sana. Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya
(seni gambar, seni ilustrasi, dan seni grafis), dipadu dengan unsur seni
sastra. Tetapi banyak kalangan teoretisi seni rupa maupun sastra enggan
memasukkan komik ke dalam kategori seni utama. Dalam teori seni rupa Barat ada
pemilahan kelompok seni rupa dalam dua bentuk: seni murni (terjemah dari pure art), sering juga disebut dalam
kelompok seni utama (major art), dan
seni terap (applied art) atau yang
digolongkan sebagai seni remeh (minor art).
Kategori seni remeh, menurut teoretisi seni rupa Barat, banyak sekali, yaitu
jenis kegiatan seni rupa di luar kelompok seni murni, seni utama. Myers menulis
sebagai berikut: “minor or applied art: furniture, textiles, ceramics, etc”,
tanpa terlalu banyak memberi kupasan. Pengabaian bahasan tadi, tampak juga
dalam sejumlah buku lain yang telah menjadi buku acuan utama teori seni rupa
Indonesia. Oleh karena itu, sulit sekali untuk menemukan buku yang isinya
merupakan bahasan mendalam tentang seni-seni terapan ini, yang digandengakan
dengan bahasan seni murni. Komik, sebagai kelompok seni remeh, berada pada
posisi tersebut, pemosisian yang kurang memperhitungkan keberadaannya.
4.
Komik
dan Gambar Buatan Anak-anak
Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar
menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek
secara mirip. Dalam beberapa hasil observasi di lapangan, anak usia 5-9 tahun,
suka meniru gambar dalam buku bacaan, gambar buatan temannya, atau juga gambar
tokoh-tokoh cerita yang sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki
pembawaan khusus, pada usia 2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita
yang sangat disukainya. Kesenangan
meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh
perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip
mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar.
Sejumlah anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya. Irama perkembangan
masing-masing anak tidak ada yang sama persis. Semua anak memiliki jalur
perkembangan motorik yang berbeda.
Sekalipun kesukaan akan gambar pada kebanyakan anak
bisa dikatakan seragam pada usia yang sama, namun karena keragaman irama
perkembangan tadi menyebabkan perbedaan-perbadaan intensitas perhatian anak
terhadap kegiatan menggambar. Meniru ternyata bukan hal yang membahayakan
kegiatan anak dalam menggambar. Alasan ‘pengagungan’ nilai kreativitas
seringkali dipakai oleh para guru, teoretisi pendidikan seni rupa, atau
para pembina sanggar. Meniru adalah “perbuatan yang tidak kreatif”, itu tesis
awal yang kerap diusung oleh para ahli pendidikan seni rupa, lebih khusus
mereka yang lebih dalam mengenal psikologi. Hal itu bersumber dari paham kaum
modernis yang mengutamakan nilai kebaruan. Kemudia muncul tesis pengganti yang
berisi pernyataan bahwa “kreativitas adalah kemampuan mengorganisasi aneka
pengalaman termasuk pengalaman dari hasil meniru menjadi bentuk yang baru”. Isi pernyataan tadi, tampaknya,
dipengaruhi perilaku para teknokrat Jepang yang gemar menggubah sesuatu
berdasarkan sumber acuan campuran, yang karya-karyanya berupa benda-benda
elektronika dan kendaraan telah merajai dunia. Hal itu, kini telah menjadi
sesuatu yang dianggap lumrah, bahkan dianggap main trend.
Anak-anak secara normal, mengikuti pola peniruan
itu tanpa beban. Pola peniruan bisa beragam bentuk. Ada peniruan dengan
mengandalkan pola ingatan. Ada juga pola peniruan dengan menggunakan ‘sumber
acuan’ yang visual, tak perlu diendapkan dahulu di dalam ingatan. Bahan tiruan
bisa berubah setiap masa, bergantung kepada sesuatu yang menjadi sumber
inspirasi mereka. Ketika cerita tradisi seperti wayang masih menguasai bahan
cerita yang disukai oleh anak-anak, tokoh-tokoh cerita itulah yang menjadi
sumber acuan. Anak-anak bisa melihat gambaran tokoh wayang dari bentuk visual
pertunjukan wayang kulit, wayang golek, atau pun wayang orang. Pada kondisi
selanjutnya, ketika buku bacaan mulai banyak dikenal oleh anak-anak,
gambar-gambar yang ada pada buku itulah yang menjadi salah satu sumber acuan.
Sekian resume meniru komik menjaring inspirasi yang sudah saya buat,
semoga resume ini dapat
menjadi inspirasi untuk semua orang sehingga membantu dalam berimajinasi yang seluas-luasnya.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar